Media Monitoring, Analysis and Tracking, Information System Consultant, Software-Web Develoment and Maintenance, Computer Network Supply and Installation, Purchasing Service
Cakrajiya Ciptana (CCi)
http://www.cc-indonesia.com
Cakrajiya Ciptana (CCi)
http://www.cc-indonesia.com
Sekitar 1.000 orang berduyun-duyun menghadiri upacara peringatan 1.000 hari wafatnya mantan Presiden Soeharto. Hal ini tidak aneh, sebab di kalangan masyarakat kelas bawah masih banyak yang mengidolakan Soeharto.
"Ada kenangan kolektif, memori mengenai Soeharto ketika dia memerintah selama 32 tahun. Meskipun ada plus minus, tapi saya rasa bagi masyarakat kelas bawah banyak yang memiliki kenangan positif akan Pak Harto," kata pengamat sosiologi politik UI, Ganda Upaya, dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (22/10/2010).
Hal ini, lanjut dia wajar karena cara berpikir masyarakat kelas bawah yang sederhana. Mereka tidak mempersoalkan politik, tetapi lebih kepada kehidupan sehari-hari. Apalagi karakter masyarakat Indonesia yang suka membandingkan.
"Mungkin mereka merasa dulu keadaan hidupnya lebih baik dari sekarang. Paling tidak bagi mereka ada kebijakan populis Soeharto seperti IDT (Inpres Desa Tertinggal), SD inpres, juga KB yang menurut mereka bagus," terangnya.
Soeharto juga diuntungkan dengan kondisi-kondisi yang menyebabkan nilai positif lebih melekat dalam figurnya. Misalnya saja pada saat itu terjadi boom minyak sehingga harga bahan bakar minyak di kalangan masyarakat juga dirasa tidak memberatkan.
"Juga soal keamanan. Mereka dulu umumnya merasa aman. Preman takut pada polisi. Kalau sekarang malah polisinya diserang, jadi mereka pun merasa tidak aman," katanya.
Hal berbeda disampaikan pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi kepada detikcom. Burhanuddin mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan LSI sejak tahun 1999 sampai dengan terakhir tanggal 7-19 Oktober 2010, hasilnya justru penilaian publik terhadap penguasa Orde Baru itu semakin menurun.
Menurutnya, sampai saat ini kepuasan tingkat rezim reformasi terhadap demokrasi masih
tinggi dengan persentase lebih kurang mencapai 70 persen. Alasan utama penurunan itu, menurutnya, lebih disebabkan memori publik yang belum melupakan bahwa Soeharto adalah dalang keterpurukan Indonesia. Hal ini sulit dimaafkan oleh masyarakat.
Krisis 1998 membuat publik tidak merespons positif sosok Soeharto. Bahkan dari survei yang terus menurun LSI yakin publik tidak bermimpi lagi hidup di masa itu.
"Ada kenangan kolektif, memori mengenai Soeharto ketika dia memerintah selama 32 tahun. Meskipun ada plus minus, tapi saya rasa bagi masyarakat kelas bawah banyak yang memiliki kenangan positif akan Pak Harto," kata pengamat sosiologi politik UI, Ganda Upaya, dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (22/10/2010).
Hal ini, lanjut dia wajar karena cara berpikir masyarakat kelas bawah yang sederhana. Mereka tidak mempersoalkan politik, tetapi lebih kepada kehidupan sehari-hari. Apalagi karakter masyarakat Indonesia yang suka membandingkan.
"Mungkin mereka merasa dulu keadaan hidupnya lebih baik dari sekarang. Paling tidak bagi mereka ada kebijakan populis Soeharto seperti IDT (Inpres Desa Tertinggal), SD inpres, juga KB yang menurut mereka bagus," terangnya.
Soeharto juga diuntungkan dengan kondisi-kondisi yang menyebabkan nilai positif lebih melekat dalam figurnya. Misalnya saja pada saat itu terjadi boom minyak sehingga harga bahan bakar minyak di kalangan masyarakat juga dirasa tidak memberatkan.
"Juga soal keamanan. Mereka dulu umumnya merasa aman. Preman takut pada polisi. Kalau sekarang malah polisinya diserang, jadi mereka pun merasa tidak aman," katanya.
Hal berbeda disampaikan pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi kepada detikcom. Burhanuddin mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan LSI sejak tahun 1999 sampai dengan terakhir tanggal 7-19 Oktober 2010, hasilnya justru penilaian publik terhadap penguasa Orde Baru itu semakin menurun.
Menurutnya, sampai saat ini kepuasan tingkat rezim reformasi terhadap demokrasi masih
tinggi dengan persentase lebih kurang mencapai 70 persen. Alasan utama penurunan itu, menurutnya, lebih disebabkan memori publik yang belum melupakan bahwa Soeharto adalah dalang keterpurukan Indonesia. Hal ini sulit dimaafkan oleh masyarakat.
Krisis 1998 membuat publik tidak merespons positif sosok Soeharto. Bahkan dari survei yang terus menurun LSI yakin publik tidak bermimpi lagi hidup di masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar