Cakrajiya Ciptana (CCi)
http://www.cc-indonesia.com
Mengurus Jakarta, sebagai ibu kota negara, tidak semudah mengurus anak atau bawahan kita di kantor. Berbagai persoalan memang tidak bisa hanya diurus oleh Kepala Daerah DKI Jakarta tetapi harus menyertakan campur tangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini harus ada regulasi yang bersifat lintas sektoral. Selain regulasi juga koordinasi yang harus melibatkan Pemerintah Pusat.
Ironisnya persoalan regulasi dan koordinasi inilah yang menyebabkan tidak saja wilayah DKI Jakarta yang amburadul tetapi juga Republik Indonesia. Kita ambil saja kasus yang semakin menghangat saat ini di wilayah DKI Jakarta namun tak kunjung selesai, meskipun koordinasi sudah berada di tangan Wakil Presiden, yaitu kemacetan.
Berdasarkan analisa jalanan yang dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, kemacetan
di Jakarta dan sekitarnya selain masalah regulasi dan koordinasi, ternyata juga masalah leadership yang berwacana pembiaran. Berbagai rapat koordinasi terus berlangsung hingga larut malam tetapi no action.
Alat mengurangi kemacetan tercepat sudah ada di depan mata tetapi tetap tidak ditangani secara serius, yaitu angkutan masal TransJakarta (TJ) atau yang lebih dikenal dengan Busway. Seperti sudah pernah saya tulis beberapa kali di kolom ini, kenyataannya TJ memang tidak dikelola dengan baik untuk mengurangi kemacetan di wilayah DKI Jakarta. Pemerintah Daerah dan Pusat cenderung melakukan pembiaran. Mengurus tetapi tanpa niat.
Coba kita perhatikan, halte rusak dan kumuh, bus sudah menua dan sering mogok, keamanan konsumen tidak terjamin (pelecehan dan pencopetan), jalur sering tambal sulam yang memperburuk kemacetan yang sudah ada, jumlah armada tidak bertambah bahkan menyusut serta ketidakjelasan suplai dan harga BBG (Bahan Bakar Gas) untuk TJ.
Begitu banyaknya persoalan, kali ini saya hanya ingin membahas persoalan BBG-nya saja
yang menjadi salah satu penyebab utama TJ tidak berjalan optimal. BBG untuk TJ tersedak. Perbedaan harga BBG antara yang berasal dari PT Perusahaan Gas Negara atau
PGN (Rp 3.600/lsp) dan dari PT Pertamina (Rp 2.562/lsp) menjadi salah satu penyebab utama ketidakjelasan soal harga BBG di Jakarta saat ini. Begitu pula dengan jaminan suplai yang masih tidak jelas. Belum lagi pertikaian antara Stasiun Bahan Bakar Gas (SPBG) dengan Pemda DKI dan PT PGN. Lalu di mana persoalan dan cara penyelesaiannya?
Latar Belakang Persoalan
Sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 141 tahun 2007 tentang Penggunaan BBG Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemda. Semua angkutan massal, termasuk TJ, pada tahun 2012 harus sudah memakai BBG. Persoalannya kebijakan yang komprehensif untuk mengatur jaminan suplai dan harga BBG belum ada. Semua pihak saling lempar tanggung jawab. Mari kita lihat bagaimana mekanisme suplai dan disparitas harga BBG untuk TJ terjadi.
Untuk SPBG yang menjual secara retail ke TJ, saat ini dibina oleh dua manajemen, yaitu PT Pertamina Gas Domestik (PGD) dan PT PGN. PGD mendapatkan gasnya dari Pertamina EP Cirebon terus disalurkan melalui jaringan pipa milik PT PGN ke SPBG (Jalan Daan Mogot dan Jalan Pemuda) dengan harga Rp 1.682 per liter satuan premium (lsp). Dalam penyaluran tersebut PGD membayar biaya distribusi ke PT PGN sebesar Rp 60/lsp.
Oleh SPBG di Jalan Pemuda dan Jalan Daan Mogot, BBG dijual seharga Rp 2.562/lsp ke bus-bus milik operator TJ. Artinya SPBG mempunyai keuntungan sebesar Rp 880/lsp. Untuk SPBG yang dibina oleh PT PGN, gasnya dibeli oleh PT PGN dari produsen gas (misal Conoco Phillips di Grisik Sumsel) dan oleh PT PGN gas tersebut dialirkan ke SPBG dengan harga Rp 2.119/lsp. Ini memang lebih mahal dari gas produk PGD karena PT PGN harus membeli gas bukan produksi sendiri seperti yang dilakukan PGD yang dijual ke SPBG hanya Rp 1.682/lsp.
Di seluruh SPBG yang dibina oleh PT PGN, harga gas sebelum tanggal 1 April 2010 sama, yaitu Rp 2.562/lsp. Namun sejak 1 April 2010, harga gas di SPBU yang dibina oleh PT PGN (milik PT Petross, PT Andalan dan T Energi) dinaikkan menjadi Rp 3.600/lsp oleh pemilik SPBU atas kesepakatan dengan Pemda DKI Jakarta. Sehingga keuntungan SPBU yang tadinya hanya Rp 443/lsp, menjadi Rp 1.481/lsp karena BBG tidak lagi dijual Rp 2.562/lsp tetapi menjadi Rp 3.600/lsp!
Inilah kemudian yang menjadi 'biang kerok' tersedaknya suplai BBG untuk TJ. Bagaimana bisa harga gas berbeda jauh (sekitar Rp 1.038/lsp). Pasar bebas boleh saja tetapi kalau perbedaannya sebesar itu, artinya peretail BBG (swasta) patut diduga telah memperdaya publik dan indahnya Pemda DKI Jakarta melakukan pembiaran. Patut diduga ada biaya ?x? untuk pengaturnya.
Alasan tersebut saya sampaikan karena penyalur SPBG swasta yang dibina PT PGN, apapun alasannya, telah menyusahkan publik karena sebagian bus TJ tidak sanggup membeli gas yang sangat mahal di SPBU yang dikelola oleh Petross (berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan dan Rawa Buaya yang saat ini tidak beroperasi), Andalan (berlokasi di HEK Kramat Jati, Kampung Rambutan dan Tanah Merah) serta T Energi (lokasi di Pinang Ranti dan sedang akan beroperasi).
Sedangkan untuk mengisi ke SPBG yang dibina oleh PDG dan harganya lebih murah lokasinya jauh dan mengantrinya lama (sampai 30 menit/sekali isi). Sangat tidak ekonomis. Sedangkan yang lain hanya perlu waktu sekitar 4 menit, tetapi harga mahal.
Langkah-Langkah yang Harus Diambil
Pemda DKI Jakarta pada pertengahan Desember akan menerima kurang lebih 100 bus TJ baru untuk koridor yg belum ada busnya. Bisa dibayangkan dengan jumlah bus TJ saat ini sekitar 460 unit saja, persoalan BBG tidak kunjung beres, lalu dengan penambahan 100 bus akan tambah runyam. Artinya bisa dipastikan 100 bus baru akan mangkrak karena BBG-nya tidak ada.
Langkah drastik harus segera diambil oleh Kementrian ESDM bersama-sama dengan Pemda DKI untuk segera mengatur kebutuhan BBG untuk transportasi, khususnya bus TJ di DKI Jakarta agar kemacetan sedikit terurai. Sambil menunggu pembangunan 'Loopline' KA Jabodetabek, MRT, Electronic Road Pricing (ERP), kenaikan tariff parkir, pembatasan kendaraan, pencabutan subsidi BBM dsb.
Suplai dan harga BBG harus SEGERA ditetapkan tidak melebihi angka yang ada atau keuntungan antara SPBG yang dibina PGD dan PT PGN harus tidak berbeda terlalu jauh.
Kalau menangani ini saja Menteri ESDM tidak mampu, sebaiknya Presiden segera menggantinya. Jika Gubernur DKI Jakarta tidak juga dapat mengatasi ini, sebaiknya tidak perlu lagi mencalonkan diri untuk kedua kalinya pada tahun 2014. Gubernur harus berani membuka siapa yang bermain sehingga harga disepakati Rp 3.600/lsp per 1 April 2010.
Jangan saling menyalahkan tetapi bekerjalah untuk publik Jakarta. Publik sudah lelah didera kemacetan berkepanjangan tanpa solusi nyata. Salam.
Ironisnya persoalan regulasi dan koordinasi inilah yang menyebabkan tidak saja wilayah DKI Jakarta yang amburadul tetapi juga Republik Indonesia. Kita ambil saja kasus yang semakin menghangat saat ini di wilayah DKI Jakarta namun tak kunjung selesai, meskipun koordinasi sudah berada di tangan Wakil Presiden, yaitu kemacetan.
Berdasarkan analisa jalanan yang dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, kemacetan
di Jakarta dan sekitarnya selain masalah regulasi dan koordinasi, ternyata juga masalah leadership yang berwacana pembiaran. Berbagai rapat koordinasi terus berlangsung hingga larut malam tetapi no action.
Alat mengurangi kemacetan tercepat sudah ada di depan mata tetapi tetap tidak ditangani secara serius, yaitu angkutan masal TransJakarta (TJ) atau yang lebih dikenal dengan Busway. Seperti sudah pernah saya tulis beberapa kali di kolom ini, kenyataannya TJ memang tidak dikelola dengan baik untuk mengurangi kemacetan di wilayah DKI Jakarta. Pemerintah Daerah dan Pusat cenderung melakukan pembiaran. Mengurus tetapi tanpa niat.
Coba kita perhatikan, halte rusak dan kumuh, bus sudah menua dan sering mogok, keamanan konsumen tidak terjamin (pelecehan dan pencopetan), jalur sering tambal sulam yang memperburuk kemacetan yang sudah ada, jumlah armada tidak bertambah bahkan menyusut serta ketidakjelasan suplai dan harga BBG (Bahan Bakar Gas) untuk TJ.
Begitu banyaknya persoalan, kali ini saya hanya ingin membahas persoalan BBG-nya saja
yang menjadi salah satu penyebab utama TJ tidak berjalan optimal. BBG untuk TJ tersedak. Perbedaan harga BBG antara yang berasal dari PT Perusahaan Gas Negara atau
PGN (Rp 3.600/lsp) dan dari PT Pertamina (Rp 2.562/lsp) menjadi salah satu penyebab utama ketidakjelasan soal harga BBG di Jakarta saat ini. Begitu pula dengan jaminan suplai yang masih tidak jelas. Belum lagi pertikaian antara Stasiun Bahan Bakar Gas (SPBG) dengan Pemda DKI dan PT PGN. Lalu di mana persoalan dan cara penyelesaiannya?
Latar Belakang Persoalan
Sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 141 tahun 2007 tentang Penggunaan BBG Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemda. Semua angkutan massal, termasuk TJ, pada tahun 2012 harus sudah memakai BBG. Persoalannya kebijakan yang komprehensif untuk mengatur jaminan suplai dan harga BBG belum ada. Semua pihak saling lempar tanggung jawab. Mari kita lihat bagaimana mekanisme suplai dan disparitas harga BBG untuk TJ terjadi.
Untuk SPBG yang menjual secara retail ke TJ, saat ini dibina oleh dua manajemen, yaitu PT Pertamina Gas Domestik (PGD) dan PT PGN. PGD mendapatkan gasnya dari Pertamina EP Cirebon terus disalurkan melalui jaringan pipa milik PT PGN ke SPBG (Jalan Daan Mogot dan Jalan Pemuda) dengan harga Rp 1.682 per liter satuan premium (lsp). Dalam penyaluran tersebut PGD membayar biaya distribusi ke PT PGN sebesar Rp 60/lsp.
Oleh SPBG di Jalan Pemuda dan Jalan Daan Mogot, BBG dijual seharga Rp 2.562/lsp ke bus-bus milik operator TJ. Artinya SPBG mempunyai keuntungan sebesar Rp 880/lsp. Untuk SPBG yang dibina oleh PT PGN, gasnya dibeli oleh PT PGN dari produsen gas (misal Conoco Phillips di Grisik Sumsel) dan oleh PT PGN gas tersebut dialirkan ke SPBG dengan harga Rp 2.119/lsp. Ini memang lebih mahal dari gas produk PGD karena PT PGN harus membeli gas bukan produksi sendiri seperti yang dilakukan PGD yang dijual ke SPBG hanya Rp 1.682/lsp.
Di seluruh SPBG yang dibina oleh PT PGN, harga gas sebelum tanggal 1 April 2010 sama, yaitu Rp 2.562/lsp. Namun sejak 1 April 2010, harga gas di SPBU yang dibina oleh PT PGN (milik PT Petross, PT Andalan dan T Energi) dinaikkan menjadi Rp 3.600/lsp oleh pemilik SPBU atas kesepakatan dengan Pemda DKI Jakarta. Sehingga keuntungan SPBU yang tadinya hanya Rp 443/lsp, menjadi Rp 1.481/lsp karena BBG tidak lagi dijual Rp 2.562/lsp tetapi menjadi Rp 3.600/lsp!
Inilah kemudian yang menjadi 'biang kerok' tersedaknya suplai BBG untuk TJ. Bagaimana bisa harga gas berbeda jauh (sekitar Rp 1.038/lsp). Pasar bebas boleh saja tetapi kalau perbedaannya sebesar itu, artinya peretail BBG (swasta) patut diduga telah memperdaya publik dan indahnya Pemda DKI Jakarta melakukan pembiaran. Patut diduga ada biaya ?x? untuk pengaturnya.
Alasan tersebut saya sampaikan karena penyalur SPBG swasta yang dibina PT PGN, apapun alasannya, telah menyusahkan publik karena sebagian bus TJ tidak sanggup membeli gas yang sangat mahal di SPBU yang dikelola oleh Petross (berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan dan Rawa Buaya yang saat ini tidak beroperasi), Andalan (berlokasi di HEK Kramat Jati, Kampung Rambutan dan Tanah Merah) serta T Energi (lokasi di Pinang Ranti dan sedang akan beroperasi).
Sedangkan untuk mengisi ke SPBG yang dibina oleh PDG dan harganya lebih murah lokasinya jauh dan mengantrinya lama (sampai 30 menit/sekali isi). Sangat tidak ekonomis. Sedangkan yang lain hanya perlu waktu sekitar 4 menit, tetapi harga mahal.
Langkah-Langkah yang Harus Diambil
Pemda DKI Jakarta pada pertengahan Desember akan menerima kurang lebih 100 bus TJ baru untuk koridor yg belum ada busnya. Bisa dibayangkan dengan jumlah bus TJ saat ini sekitar 460 unit saja, persoalan BBG tidak kunjung beres, lalu dengan penambahan 100 bus akan tambah runyam. Artinya bisa dipastikan 100 bus baru akan mangkrak karena BBG-nya tidak ada.
Langkah drastik harus segera diambil oleh Kementrian ESDM bersama-sama dengan Pemda DKI untuk segera mengatur kebutuhan BBG untuk transportasi, khususnya bus TJ di DKI Jakarta agar kemacetan sedikit terurai. Sambil menunggu pembangunan 'Loopline' KA Jabodetabek, MRT, Electronic Road Pricing (ERP), kenaikan tariff parkir, pembatasan kendaraan, pencabutan subsidi BBM dsb.
Suplai dan harga BBG harus SEGERA ditetapkan tidak melebihi angka yang ada atau keuntungan antara SPBG yang dibina PGD dan PT PGN harus tidak berbeda terlalu jauh.
Kalau menangani ini saja Menteri ESDM tidak mampu, sebaiknya Presiden segera menggantinya. Jika Gubernur DKI Jakarta tidak juga dapat mengatasi ini, sebaiknya tidak perlu lagi mencalonkan diri untuk kedua kalinya pada tahun 2014. Gubernur harus berani membuka siapa yang bermain sehingga harga disepakati Rp 3.600/lsp per 1 April 2010.
Jangan saling menyalahkan tetapi bekerjalah untuk publik Jakarta. Publik sudah lelah didera kemacetan berkepanjangan tanpa solusi nyata. Salam.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar